Sabtu, 22 Mei 2010

Cerita tragedi Sampit

Rekan2, kayaknya kok sedikit ya yang mengulas peristiwa Sampit di sini?

Di bawah ini adalah cerita dari rekan milis sebelah, yang berusaha
menganalisis mengapa terjadi peristiwa Sampit itu. Dulu saya tahu istilah
"pengayau" dari komik Tintin dan majalah Intisari, biasanya ditujukan untuk
suku Indian di daerah Amerika Selatan, yang bisa memenggal kepala manusia
dan mengerutkan kepala tersebut hingga sebesar jeruk. Ternyata asalnya dari
kata Mayau seperti yang diceritakan di bawah... jadi ingat istilah
boogie-man, yang ternyata boogie = bugis.

Bagi yang perlu identifikasi, saya ini Eko Juniarto, IF '90.

---
From: "^_^ACID" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Sun, 25 Feb 2001 16:24:37 +0800
Subject: [bandung] potonya banyak amatt..!!
:
:

Haloo....
Sehubungan dengan e-mail saya yang terakhir kemaren...waktu minta kirim
foto2 peristiwa Sampit dari Qnoy lewat japri, ternyata banyak rekan2 lain
yang mengirimkan foto2 yang sama., dan hal ini mengakibatkan lambatnya
proses d/l email2 lainnya...hiks.
Untuk itu (setelah melihat komentar dari rekan-rekan dan melihat foto2nya
dan membandingkan dengan foto2 lain dari pemberitaan di internet), saya
merasa perlu untuk menyampaikan sebuah cerita [human interest], semoga bisa
menjadi sedikit upaya mensosialisasikan kondisi yang saya alami. Sorry kalo
ada yang nggak suka.Tadinya sih tulisan ini saya kirimkan ke beberapa rekan2
saja, dan cuma sekedar iseng mengisi waktu luang sebelum bobo.

Peristiwa Sampit dari kacamata "urang Bajar" <-- subject
Sampit yang baru-baru ini jadi berita hangat di negeri ini menjadi sebuah
kota yang digambarkan begitu menakutkan karena pertikaian etnis (saya
katakan di sini "pertikaian etnis" murni...tidak ada faktor SARA lainnya).
Masyarakat Dayak adalah masyarakat tradisional yang memegang teguh harkat
dan harga diri. Sejak "peradaban" masuk ke dalam kehidupan mereka, budaya
"kekerasan" yang dahulu secara turun-temurun mulai ditinggalkan.
Gambaran kasar tentang orang dayak secara umum, dilihat dari pengalaman saya
dan cerita dari beberapa orang yang sempat saya ajak bicara adalah; Orang
Dayak adalah masyarakat tradisional dan mempunyai sifat pemalu terhadap
pendatang. Tidak jarang saya jumpai masyarakat Dayak yang lari bersembunyi
dan hanya berani mengintip dari balik papan dinding rumahnya bila melihat
orang asing datang mendekat.
Namun, masyarakat Dayak mempunyai sistem kekerabatan dan persatuan yang kuat
antar masyarakat Dayak di seluruh pulau Kalimantan (termasuk Dayak di
wilayah Malaysia).
Saya punya pengalaman pribadi saat mencoba membuat karya foto tentang mereka
(Dayak)...ternyata sulit sekali melakukan pendekatan kepada mereka agar
bersedia di foto. Kebetulan saya ingin sekali membuat foto "portraiture"
sosok orang Dayak. Hehehehe...udah abis sebungkus rokok kretek yang terpaksa
saya beli (kan rokok gue bukan kretek) buat melakukan aksi
perdekatan...eehh...hasilnya nggak sesuai dengan keinginan....hehehehehe.

Kenapa orang Dayak jadi beringas terhadap etnis Madura..?????
Terus terang, sebagai keturunan suku terdekat dari suku Dayak (Banjar), saya
sendiri kaget melihat keberingasan mereka....ternyata ada benarnya juga
cerita "Dayak makan orang" yang dulu sekali pernah saya dengar...hehehehe.
Banyak sebab yang membuat mereka seakan melupakan asazi manusia, baik sebab
langsung maupun tidak langsung.
Masyarakat Dayak di Sampit seperti selalu "terdesak" dan selalu mengalah dan
memang mereka lebih suka memilih mengalah.
Dari kasus pelarangan menambang intan di atas "tanah adat" mereka sendiri
karena dituduh tidak memiliki izin penambangan, sampai kampung mereka harus
berkali-kali berpindah karena harus mengalah dari para penebang kayu yang
terus mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini
diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat
pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus
tersebut. Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar
disebabkan oleh aksi premanisme Dayak-Madura) yang merugikan masyarakat
Dayak karena tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap oleh
aparat yang "katanya" penegak hukum.

Dalam keseharian Masyarakat Dayak, kehidupan mereka ternyata jauh dari
anggapan kita yang mengira bahwa mereka itu beringas. Mereka ternyata sangat
pemalu, menerima para pendatang, dan tetap menjaga keutuhan masyarakatnya
baik religi dan ritual mereka. Mereka tidak pernah mengganggu para penebang
kayu yang mendesak mereka untuk terus mengalah. Mereka tidak pernah
menentang anggota masyarakatnya yang ingin masuk agama yang dibawa oleh
orang-orang pendatang. Mereka dengan ringan-tangan membantu masyarakat
sekitarnya. Mereka tidak pernah membawa mandau, sumpit, ataupun panah ke
dalam kota Sampit untuk "petantang-petenteng".

Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya "kekerasan" ternyata
menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat
mereka sebagai "pendatang"). Sering terjadi kasus pelanggaran "tanah
larangan" orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh
orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu "perang antar etnis
Dayak-Madura".

Entah bagaimana cara mereka (Dayak) membedakan suku Madura dengan suku-suku
lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari "serangan beringas" orang
Dayak.
Banyak yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut
dengan kepercayaan animisme Dayak (Kaharingan). Banyak kolega-kolega saya
yang baru pulang dari Sampit menceritakan keberingasan orang Dayak dan
peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut, sampai pada mitos
masyarakat Dayak tentang "Panglima Burung" yang mampu memenggal kepala orang
tanpa menyentuh sedikit-pun. Yang perlu diketahui adalah; saat ini di Sampit
bukan saja masyarakat dayak Sampit yang berada di sana, tetapi juga ada 5
suku besar Dayak lainnya dari beberapa propinsi di pulau Kalimantan (saya
nggak tau apakah Dayak di wilayah Malaysia juga ada....kalau ada jadi total
6 suku besar). Bayangkan, masyarakat Dayak yang sebelumnya bukan masyarakat
mayoritas di sana, saat terjadi "perang" jumlah mereka berlipat ganda.
Dari riwayat budaya Dayak, kalau 6 suku tersebut sudah berkumpul, berarti
PERANG BESAR...!!

Pengungsian besar-besaran masyarakat suku lain (selain Dayak dan Madura)
hanya dikarenakan rasa ngeri melihat "perang" dan lumpuhnya perekonomian
Sampit. Alhamdulillah, beberapa rekan saya di sana (kebetulan bukan suku
Madura) masih aman-aman saja. Suku Dayak tidak merusak Gereja, Mesjid, atau
rumah peribadatan lainnya. Bahkan ada cerita yang mengabarkan bahwa mereka
(Dayak) tidak menyerang orang (madura) yang sempat bersembunyi di dalam
Masjid atau Gereja.

Kenapa Madura..???
Dari hasil pengamatan saya, dan dari cerita rekan-rekan saya, masyarakat
suku Madura banyak "petantang-petenteng" di sana, bahkan bukan cuma di
Sampit...di Banjarmasin-pun mereka terkenal dengan sifat mereka itu.
Penilaian ini bersifat menyamaratakan anggapan "kekerasan" suku Madura
lhoo...memang tidak semuanya begitu. Dari cara mereka melakukan usaha dalam
bidang perekonomian saja, mereka terkadang dianggap terlalu "kasar" oleh
sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat Banjar sekalipun. Banyak
cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka.
banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Sekali lagi, tidak semua suku
Madura bersifat seperti ini.
Jadi, berita atau anggapan tentang kecemburuan sosial-ekonomi yang menjadi
penyebab pecahnya "perang" tersebut dari hasil pengamatan dan penilaian saya
adalah TIDAK BENAR.
Salah satu contoh yang pernah saya alami sendiri :
Saat turun dari Bis di Sampit (sekitar tahun 1993), tas saya yang cuma satu
dipaksa untuk diangkatkan oleh seorang pemuda dengan logat Madura-nya yang
kental. Dengan dalih "bisa saya bawa sendiri" saya coba menolak dengan halus
tawaran jasa porter tersebut. tapi dengan wajah tak bersahabat dan dengan
sedikit membentak, pemuda itu menarik tas yang saya genggam sambil berkata
dengan nada kasar "ini sudah peraturannya..! harus dibawakan". Nah lhoo...!!
peraturan dari mana..?? dari hongkong..??? hehehehe. Yahh... daripada cari
penyakit di kampung orang, saya terpaksa cari jalan damai saja lahh. Dan
sialnya, dia minta uang jasa sebesar Rp 10.000,-...!! EDANN..!! di air-port
aja gue cuma ngasih goceng..!! hahahahaha.

Masyarakat Dayak tidak pernah peduli dengan nilai nominal. Mereka bisa saja
dengan suka rela ber"barter" dengan para pendatang tanpa proses
perpindah-tangannan uang. Mereka lebih memilih barter dengan kopi, gula,
garam, atau bahkan sebungkus rokok.
Penjarahan yang terjadi di Sampit lebih banyak dilakukan oleh suku-suku
pendatang lain yang tidak menjadi sasaran amuk suku Dayak

Sekali lagi.....tulisan ini cuma bertujuan untuk menjelaskan keadaan Sampit
saat ini khususnya budaya orang Dayak, dan tidak ada maksud apapun. Sekedar
informasi, waktu perjalanan darat dari Banjarmasin-Sampit kira-kira 24
jam...non-stop. Alhamdulillah di Banjarmasin masih "aman-terkendali"
(hehehe....pake bahasa laporan pandangan mata kaya' di Radio....hehehe).
Sebenernya pengen sih cerita keanehan-keanehan yang terjadi di sana...tapi
saya nggak liat sendiri sih...jadi belum yakin banget kebenarannya. Yang
pasti, legenda "Panglima Burung" sedang trend di Banjarmasin...hehehehehe.


TAMBAHAN :
Sejak kecil, saya pernah mendengar istilah masyarakat Dayak yaitu;
"Mayau",atau "Bamayau" (ber-mayau/melakukan Mayau). Mayau digambarkan
sebagai "perang" yang seakan mewajibkan memotong salah satu anggota tubuh
musuh,
terutama KEPALA..!! ck..ck..ck.
Sampai sebelum pecahnya "perang" antar etnis Dayak-Madura, saya tidak pernah
mendengar, apalagi melihat Mayau tersebut, sehingga dengan berjalannya waktu
hal tersebut hampir saya lupakan. Begitu pecahnya "perang" tersebut, saya
terpaksa kembali mengingat cerita-cerita leluhur saya tentang Mayau yang
digambarkan begitu sadis, bengis, beringas...atau apapun kata-kata yang bisa
mewakili kebiadaban Mayau tersebut.

Dulu waktu saya kecil, para orang tua sering menakut-nakuti anaknya dengan
Mayau...."Awas jangan main jauh-jauh, nanti ada Mayau". Nahhh....berarti
sudah sejak dulu leluhur saya tahu bagaimana seramnya Mayau tersebut, cuma
namanya juga anak-anak, mana tau Mayau kalau belum melihat...hmmmm.

Pada awalnya pecah "perang" tersebut, selama 2 hari kota Sampit dikuasai
oleh suku Madura, yang kabarnya sambil mengancam masyarakat sekitar yang
kebetulan suku Banjar, China, Jawa, dan Bugis. Entah bagaimana kejadian
awalnya sampai suku Dayak merasa perlu untuk turun-tangan menyelesaikan aksi
tersebut dan membalas dengan aksi yang lebih kejam lagi.

tambahan mengenai Panglima Burung;
Panglima Burung adalah salah satu tokoh yang berwibawa, sakti mandraguna,
dan penyabar....namun dia akan keluar dari persembunyiannya apabila batas
kesabarannya sudah sampai titik terendah dari toleransi. Panglima Burung
digambarkan sebagai tokoh gaib karena hanya masyarakat Dayak yang tahu
bagaimana memanggil (menghadirkan)-nya. Disamping memiliki pasukan sakti,
Panglima Burung dikabarkan juga memiliki ramuan sakti berupa minyak oles
yang disebut "Minyak Bintang". Minyak Bintang dipercaya memiliki khasiat
yang dapat membuat seseorang kebal dan dapat menyembuhkan luka dalam waktu
sekejap, bahkan membangkitkan kembali pasukan yang tewas saat perang.
ramuan ini akan manjur dan bekerja apabila bintang di langit sudah
kelihatan.
Entah kebetulan atau bukan, selama "perang" tersebut, langit pulau
Kalimantan pada malam hari tampak cerah sekali. Bintang-bintang di langit
seakan bersinar terang pada tiap malam.

Terlepas dari segala macam legenda atau bahkan mitos masyarakat suku Dayak
dari mulai Panglima Burung, minyak bintang, sampai dengan Mayau, rasanya
perlakuan mereka saya rasakan sudah diluar batas-batas kewajaran. Entah
kejadian dan alasan apa yang menimbulkan habisnya kesabaran masyarakat Dayak
terhadap masyarakat Madura di Sampit, rasanya tindakan shock therapy Mayau
bukan jalan keluar yang manusiawi. Dan, rasanya tindakan balas dendam Carok
ala Madura-pun bukan jalan keluar yang bijak. Semoga kedua belah pihak dapat
belajar dari peristiwa ini, dan tidak ada lagi kejadian "sebelas kali
berjanji, sebelas kali mengingkari". Terlepas mana pihak yang salah,
"perang" selalu membawa penderitaan dan trauma yang berkepanjangan.

Sejarah BKC

Selayang Pandang BKC
BKC adalah singkatan dari Bandung Karate Club dan Bina Ksatria Cita pada pengertian yang sebenarnya, didirikan di Bandung pada tanggal 16 Juni 1966 oleh Iwa Rahadian Arsanata. Sejak tahun 1962, telah dirintis pendiriannya dengan nama Bandung Karate School for Self Defence. Gedung Mardisantosa yang terletak di Jalan Sunda No. 2 Bandung adalah tempat pertama BKC didirikan. Tercatat sebagai anggota pertama terdiri dari siswa-siswa Sekolah Guru Pendidikan Jasmani, SMAN Jalan Belitung, STMN I jalan Rajiman serta beberapa orang mahasiswa UNPAD dan ITB. Sejak tahun 1967 hingga tahun 1972 tempat latihan pindah ke pendopo sekolah Tinggi Olah raga Jalan Van Deventer Bandung.

Maksud dan Tujuan
BKC didirikan dengan maksud menghimpun pemuda, pelajar serta berbagai kalangan dalam pembinaan olah raga beladiri berdasarkan kekeluargaan hormat-menghormati serta saling mencintai antara satu dan sesamanya. Secara umum BKC bertujuan untuk membina setiap anggota menjadi Insan Beladiri yang Mandiri yang memahami makna hidup dan kehidupan. Sehingga pada akhirnya, ilmu yang diperolehnya dapat bermanfaat bagi kehidupannya di masyarakat. Setiap anggota BKC dituntut untuk mampu melaksanakan Tri Ratna Keanggotaan berdasarkan kiprahnya.

Dasar Pendidikan Beladiri di BKC
Sumber ajaran beladiri yang diajarkan di BKC sepenuhnya bersumberkan kepada Tuntunan Ajaran Jalaksana yang merupakan Ilmu Teturunan dari Pendiri Perguruan. Kemudian sumber ajaran ini disesuaikan dengan berbagai ajaran ilmu beladiri yang ada, Baik yang datang dari luar maupun dengan yang telah ada di Indonesia. Dalam hal ini BKC berprinsip, mana yang baik diambil dan mana yang buruk dibuang walaupun itu budaya bangsa terlebih yang datang dari luar.

Para Pimpinan BKC dari Tahun ke Tahun
Tercatat sebagai Ketua Umum BKC angkatan pertama Mardisantosa, yaitu Budiarjo, S.H. kemudian dari tahun 1968-1970 BKC dipimpin oleh Kolonel (Pur) H. Anwar Tamim. Dari tahun 1971-1972 Kolonel (Pur.) R. Oetje Djunjunan alm. Wali Kotamadya Bandung waktu itu berkenan menjadi Ketua Umum BKC, Selanjutnya dari tahun 1973-1980 kembali BKC dipimpin oleh H. Anwar Tamim. Dan dari tahun 1981-1982 dipimpin oleh Kolonel (Pur.) Saleh M. Yoenoes. Dari tahun 1983 hingga sekarang ini Ir.H. Awal Kusumah M.S (Putra dari H. Anwar Tamim) terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar BKC.

Kegiatan-Kegiatan
Sejak awal berdirinya, BKC telah berhasil menyusun program kegiatan yang terpadu sebagaimana layaknya perguruan yang sudah besar antara lain Ujian Kenaikan Tingkat, Penataran Kepelatihan, Latihan Lapangan di gunung, sungai dan pantai. Kejuaraan Intern serta pada tahun 1967, Pendiri Perguruan dilantik di Sukabumi oleh Ditjora (KONI sekarang) Jawa Barat sebagai Wakil Umum PORKI Jawa Barat (ibu Yusuf dari INKAI sebagai Ketua Umum). Kejurnas PORKI pertama diikuti, yaitu di Jakarta pada tahun 1971 kemudian di penghujung 1972 dalam Musyawarah Lembaga Aliran Karate di Jakarta yang dipimpin oleh Jendral Surono dan Widjojo Suyono, BKC dikukuhkan sebagai anggota FORKI. Dalam masalah kegiatan bentuk apapun yang dilaksanakan, BKC senantiasa berpedoman pada Dua Sesanti Perguruan: PRIBADI BUDI CIRI MANDIRI dan MANDIRI KHARSA PUJA WALAGRI.
Last Updated on Senin, 26 Januari 2009 15:11

sejarah ST12

Satu lagi grup band asal kota kembang Bandung menyemarakan belantika musik Indonesia. ST12, grup yang terdiri dari 4 personil, Pepep (Drum), Iman Rush (Guitar), Pepeng (Guitar), dan Charly Van Houtten (Vokalis) ini dibentuk sejak Januari 2005 lalu.

Grup yang bermimpi untuk menjadi band papan atas itu mengusung jenis musik pop alternatif. "Kami menganggap jenis musik ini akan lebih mudah didengar, easy listening. Dan pendengar pun tampaknya lebih memilih untuk mendengarkan lagu-lagu seperti itu," ungkap Pepep mewakili teman-temannya.

Untuk menambah kualitas pada album perdana yang berjudul Aku Tak Sanggup Lagi, mereka melibatkan musisi Indra Utopia sebagai pengisi bass dan kang Iman GAIA untuk mengisi keyboard.

Awalnya grup band ini diprakarsai oleh Pepep dan Iman Rush. Pepep yang sebelumnya pernah tergabung dalam Oliv Band mengajak Pepeng, temannya yang sama-sama pernah tergabung dalam grup Oliv Band.

Ternyata jalan mereka tetap tidak semulus seperti yang dibayangkan. Ketiga pria ini merasa kesulitan untuk mendapatkan seorang vokalis yang memiliki kriteria suara yang sesuai dengan keinginan mereka. Maka sebuah audisi pun dilakukan. Saat audisi, ketiganya dipertemukan dengan Carly Van Houtten. "Charly memiliki karakter suara yang bagus dan cukup kuat. Selain itu dia memiliki latar belakang sebagai pengajar vokal. Jadi, tampaknya tidak sulit bagi dia untuk membawakan lagu saat audisi berlangsung," papar Pepep.

Tidak berbeda dengan grup-grup band yang sedang naik daun sekarang ini, lagu-lagu mereka pun kebanyakan bertema tentang cinta. "Cinta sifatnya lebih fleksibel. Lebih universal. Bisa dinikmati oleh siapa saja, muda dan tua. Dan tema-tema seperti inilah yang akan terus laku di pasaran," tambah Pepep.

Nama ST12 sendiri diambil dari nama jalan, Stasiun Timur No 12, yang merupakan lokasi studio tempat mereka kumpul. Di studio tersebutlah, keempat orang pemuda ini kerap kali berkumpul dan mengasah kemampuan mereka dalam bermusik. "Studio ini memang sering dijadikan tempat mangkal oleh teman-teman musisi lain, baik yang yunior, maupun senior di Bandung," jelas Pepep mengenai sejarah berdirinya ST12.